Home > Other > ...

Ada apa dengan investor asing di Indonesia?

Dalam empat hari terakhir akhir Juli 2025, pasar saham Indonesia kehilangan lebih dari Rp 2 triliun dana asing. Pada 31 Juli, tercatat net sell asing sebesar Rp 1,26 triliun, terbesar sejak 2 Juli yang menorehkan net sell Rp 1,22 triliun. Penjualan besar-besaran ini menambah catatan suram sepanjang tahun 2025 di mana investor asing membukukan net sell sebesar Rp 53,57 triliun hingga akhir Juni


Tak hanya itu, sepuluh hari sebelumnya (18–25 Juni), investor asing juga membukukan net sell senilai Rp 6,76 triliun secara berturut-turut selama enam hari perdagangan Secara kumulatif sepanjang kuartal I/2025, aksi jual asing mencatat Rp 30,3 triliun, sementara keseluruhan hingga April berada di posisi Rp 50,72 triliun


Kondisi seperti ini tentu mengerangkan tanda tanya besar: Apa yang membuat minat investor asing melemah padahal secara fundamental ekonomi domestik relatif stabil?



1. Pajak Tinggi, Margin Tipis

Bagi investor, margin keuntungan adalah segalanya. Ketika pajak penghasilan badan di Indonesia berada di angka 22%, sedangkan negara tetangga seperti Singapura (17%) dan Vietnam (20%) menawarkan tarif lebih rendah, pilihan rasional pun menjadi jelas: cari lokasi yang lebih efisien.


Lebih dari itu, sistem pajak Indonesia masih menghadirkan sejumlah tantangan. Ketidakpastian regulasi, perubahan aturan yang mendadak, serta minimnya insentif fiskal yang benar-benar kompetitif memperburuk persepsi risiko investor asing. Studi dari Universitas Padjadjaran (1981–2020) bahkan mencatat bahwa tingkat pajak tinggi memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap arus Foreign Direct Investment (FDI), sementara kebijakan seperti tax holiday justru terbukti efektif menarik investasi.



2. Administrasi dan Birokrasi: Proses Panjang yang Melelahkan

Tak hanya dari sisi fiskal, masalah lain yang menghantui investor adalah sistem administrasi dan birokrasi yang rumit dan lambat. Meskipun sistem OSS (Online Single Submission) telah diperkenalkan, implementasinya di lapangan masih jauh dari kata ideal.


Para investor asing sering kali menghadapi tumpang tindih regulasi antar instansi, perizinan berlapis, dan ketidakkonsistenan aturan dari pusat hingga daerah. Alhasil, proses perizinan yang seharusnya bisa selesai dalam hitungan hari, kerap molor hingga berbulan-bulan.


Lebih buruk lagi, kondisi ini membuka celah praktek biaya tak resmi yang semakin menambah beban biaya operasional. Investor tentu tidak ingin mempertaruhkan modalnya di tengah ketidakpastian prosedural seperti ini.



3. Ormas dan Ketidakpastian Sosial


Faktor lain yang mulai mendapat sorotan serius dari dunia usaha adalah peran organisasi masyarakat (ormas) dalam mengintervensi proyek-proyek investasi. Terutama di sektor pertambangan, konstruksi, dan infrastruktur.


Tak jarang ormas setempat melakukan:



  • Aksi pemblokiran proyek atas nama “aspirasi warga”
  • Tuntutan jatah proyek atau perekrutan tenaga kerja lokal secara sepihak
  • Tekanan agar investor memenuhi “kompensasi sosial” di luar mekanisme hukum


Meski ada ormas yang memang membawa aspirasi nyata, tak sedikit pula yang menjadikan hal ini sebagai alat pemerasan terselubung. Bagi investor, ini menjadi faktor risiko sosial yang sulit diprediksi dan tak terukur oleh analisis keuangan biasa. Stabilitas sosial dan jaminan hukum menjadi harga mati bagi kelangsungan bisnis jangka panjang.



4. Korupsi: Penyakit Laten yang Masih Mengakar

Indonesia mencatat penurunan skor dalam Corruption Perceptions Index (CPI) 2023, berada di peringkat 115 dari 180 negara. Ini sinyal kuat bahwa persepsi terhadap korupsi di Indonesia masih tinggi dan berpengaruh nyata pada iklim investasi.


Dari perizinan, pengadaan barang dan jasa, hingga inspeksi lapangan—praktik suap dan pungutan liar masih kerap terjadi. Di mata investor asing, lingkungan koruptif bukan hanya soal moral, tapi juga soal risiko hukum dan reputasi. Perusahaan asing, terutama yang terdaftar di bursa negara maju, harus tunduk pada regulasi ketat seperti Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) di AS atau UK Bribery Act di Inggris.


Dengan demikian, beroperasi di wilayah yang rawan korupsi menjadi ancaman langsung terhadap eksistensi hukum perusahaan mereka secara global.



Reformasi atau Ditinggalkan

Indonesia memiliki segalanya: pasar besar, demografi produktif, dan kekayaan alam yang melimpah. Tapi tanpa reformasi nyata di bidang perpajakan, birokrasi, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi, semua itu hanya akan jadi potensi yang terus-menerus tertunda.


Jika dibiarkan, investor akan memilih jalan keluar. Mereka tidak butuh waktu lama untuk memindahkan modal ke negara-negara dengan sistem yang lebih bersih, jelas, dan ramah investasi.


Sementara itu, kita akan terus bertanya: Ada apa dengan Indonesia? Jawabannya sebenarnya sudah lama kita tahu—kita hanya belum cukup berani untuk mengubahnya.


Referensi:



  • Jurnal Akuntansi Unpad: The Impact of Tax Incentives on Foreign Direct Investment in Indonesia
  • E3S Web of Conferences, ICOBAR 2022: FDI and Tax Policy: Evidence from Indonesia
  • Transparency International: Corruption Perceptions Index 2023
  • World Bank Group: Ease of Doing Business – Indonesia Country Profile
  • Liputan media nasional dan laporan lapangan seputar ormas dan birokrasi


Tags :

#SNIPbisa SMK Negeri 1 Balikpapan SNIPbisa

Ditulis oleh :

Islamirza Alifan